Selasa, 08 Mei 2012

biografi Remy Sylado

 
BIOGRAFI  REMY  SYLADO
Nama lengkap          : Jubal Anak Perang Imanuel Panda
Abdiel Tambayong
Nama singkatan        : Japi Tambayong
Nama panggilan       : Remy Sylado alias 23761
Nama samaran          : Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C.
Panda, Jubal Anak Perang Imanuel
Tempat. Tgl. Lahir    : Makasar, Sulawesi Selatan, 22 juli 1945
Umur                        : 67 tahun
Agama                      : kristen katolik
Pendidikan               : SD Karangasem Semarang, SMP Katolik
Semarang, SMAN Solo Akademi Surakarta,
Akademi Teater Nasional Indonesia Solo,
Akademi Seni Rupa Solo, Akademi bahasa
asing Jakarta
Pekerjaan                  : wartawan, sastrawan, dramawan, penulis                                   
       Masa kecil                : masa kecil dan remaja di Semarang & Solo

Ia dikenal sebagai Remy Sylado alias 23761. Konon, nama ini dibuat berdasarkan pengalamannya pada tanggal 23 bulan 7 tahun 1961, yakni pertama kali ia mencium seorang wanita. Nama ini kemudian dipakai pula untuk kelompok teater yang ia bentuk di Bandung, Dapur Teater 23761. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Dibalik kegiatannya dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia  juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado adalah seorang seniman dan sastrawan Indonesia yang serba bisa (Multi Talent),dan beliau dapat menghasilkan berbagai karya seni dalam bebagai bidang,seperti seni drama, lewat pertunjukan teaternya, seni sastra lewat novel, cerpen, puisi, dan karya skenarionya, selain itu beliau adalah seorang pelukis, dan kritikus musik, sehingga beliau terpilih sebagai satu-satunya kritikus musik yang mendapatkan penghargaan dari istana wakil presiden dan beliau juga mendapatkan penghargaan Anugerah Satya lencana kebudayaan dari negara. Salah satu kehebatan Remy Sylado dibanding dengan para penyair /sastrawan lainnya, yakni dalam karya sastranya beliau dapat menghidupakn kata-kata Arkai, dengan menciptan kata-kata baru, atau memberdayakan kata-kata lama yang selama ini tidak perna dipakai. Resikonya bagi para pembaca kadang-kadang tidak segera menangkap maksud dari pemakaian istilah kata yang digunakan beliau, bahkan pengunaan kata istilah yang ada dalam karya tulis beliau belum tentu ada di kamus bahasa Indonesia, sebab beiau menggunakan istilah kata dari beragam bahasa, seperti Bahasa Sasekerta, Jawa, sunda, Manado, Betawi, Ambon, dan beberapa bahasa asing lainnya. Selami ini novel-novel panjang, buku-buku, dan artikel-artikel, karya beliau yang unik ternyata hanya ditulis dengan menggunakan mesin ketik lama, sementara kita yang menggunakan computer bertahun-tahun, dan melihat internet setiap hari belum dapat menulis buku dalam bentuk apapun. Karya terbaru Rem slylado saat ini adalah beliau menciptakan sebuah buku yang diberi judul Kamus Bahasa dan Budaya Manado, dan buku ini terdapat 390 halaman yang diterbitkan oleh PT Gramedia. Dalam buku ini Remy Sylado mengankat arti dari ribuan fam yang digunakan oleh orang-orang Manado dan ragam budaya bahasa pengantar sehari-hari di lingkup orang-orang Manado, terutama bagi mereka yang berada di kalangan etnis Minahasa.
Remy Sylado merupakan seorang seniman dan sastrawan yang andal. Semua itu dapat diketahui lewat riwayat hidupnya. Selain sebagai penulis drama, pria yang dilahirkan di Makasar, 12 Juni 1945 merupakan seniman yang serba bisa. Bakat seninya berasal dari kakek dan ibunya. Kakeknya merupakan seorang tentara yang menyukai seni, terutama seni musik. Kesukaan itu menurun kepada ibunya yang bernama Caterina. Walaupun sebagai seorang ibu rumah tangga yang hanya mengenyam sekolah desa selama tiga tahun, ia yakin bahwa ibunya mempunyai jiwa seni. Buktinya, istri Johannes Hendrikus Tambajong dapat menyanyikan lagu-lagu klasik, seperti The Messiah karya Handel, Ave Maria, dan masih banyak lagi. Remy sejak duduk di bangku sekolah dasar sudah berprestasi di bidang seni. Waktu duduk di sekolah dasar (SD), juara lomba seni lukis tingkat SD se-Semarang pernah disandangnya. Kecintaannya kepada seni lukis berlanjut hingga perguruan tinggi. Selepas menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas (SMA), pria yang bernama asli Japi Panda Abdiel Tambayong ini kemudian mendaftar di Akademi Kesenian Surakarta Jurusan Seni Rupa untuk memperdalam bakatnya di seni lukis. Di dunia sastra dan pertunjukan, pendiri kelompok teater 23761 ini sangat terampil, baik sebagai pemain drama maupun sebagai penulis cerita. Ia sudah bermain drama sejak berusia empat tahun. Perannya menjadi domba di kandang natal sangat berkesan hingga sekarang. Saat tubuhnya bertambah besar, peran yang dimainkannya pun berubah, yaitu menjadi anak sapi. Ketertarikannya pada dunia seni peran menuntunnya untuk melanjutkan sekolah di Akademi Teater Nasional Indonesia. Bakat kepengarangan Remy sudah terlihat sejak duduk di bangku SMP. Yang kala itu ikut andil mengasah kemampuannya mengarang adalah guru bahasanya. Ketika sang guru menugaskan murid-muridnya mengarang sepanjang satu halaman, penulis novel Ca-bau-kan ini mampu mengarang hingga empat halaman. Bahkan, hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas lain. Kepenulisan mantan Ketua Pusat Kebudayaan Bandung ini semakin terasah ketika dia berkarier sebagai wartawan. Pada 1965, Remy pernah menjadi wartawan di majalah Tempo di Semarang. Setelah itu, ia kemudian menjadi redaktur di majalah Aktuil Bandung dari 1972 sampai 1975. Di sana, dia sekaligus menjadi redaktur pertama rubrik “Puisi Mbeling”. Baginya, sastra harus bisa memberikan penghiburan dan pengharapan kepada pembacanya. Karya sastra tersebut dapat dibuang ke tempat sampah apabila tidak memuat keduanya.
Tugas seorang penulis sastra bukanlah sekadar membuat cerita, melainkan membuat dan menghadirkan gagasan pemikirannya. Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah karya sastra, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis tanpa riset, novel tersebut cenderung akan kering. Salah satu novelnya yang terkenal dan sempat difilmkan adalah Ca-baukan (Hanya Sebuah Dosa). Remy telah menghasilkan beberapa novel yang lain, seperti Kembang Jepun, Parijs van Java: Darah, Keringat, Airmata, Kerudung Merah Kirmizi, Menunggu Matahari Melbourne, dan Sam Po Kong. Selain itu, Remy menulis drama, seperti Siau Ling dan 9 Oktober 1740. Keduanya memiliki latar belakang sejarah yang kuat.  Teks drama 9 Oktober 1740 bercerita tentang kisah percintaan antara Hein de Wit dan Hien Nio yang di dalamnya terdapat intrik politik, pengkhianatan, dan sentimen kebangsaan.
Keistimewaan drama ini terletak pada penjelasan yang detail tentang tokoh dan tempat melalui catatan kaki, misalnya karakter Adriaan Valckenier dan tempat Zeedijk. Selain itu, Remy Sylado juga menggunakan banyak bahasa dalam teks drama ini. Bahasa yang digunakan antara lain, bahasa Indonesia, Cina, Belanda, dan Jawa. Tanggapan terhadap drama ini beragam. Di Fakultas Ilmu Budaya UGM, terdapat sebuah tesis yang membahas tentang teks drama 9 Oktober 1740 yang ditulis oleh Else Liliani. Ia menyimpulkan bahwa naskah drama ini berusaha menyajikan wacana antikolonial. Akan tetapi, wacana tersebut masih terhegemoni oleh wacana kolonial yang menekankan pada pejabat kolonial yang koruplah yang harus dipersalahkan, bukan setiap orang Belanda yang identik dengan penjajah. Selain itu, teks ini juga dianggap merefleksikan proses hibridisasi yang tidak mungkin ditolak. Remy memang sering menulis cerita dengan menggunakan latar belakang sejarah. Kritik terhadap kebenaran sejarah dalam karyanya sering muncul. Akan tetapi, ia mempunyai jawaban sendiri tentang hal tersebut.

5 komentar: